Ada pohon besar di dalam hutan dengan batang yang tebal,
banyak dahan besar, dan berdaun rimbun. Seorang anak yang kesepian datang ke
pohon itu untuk bermain.
Anak itu membayangkan ia mendengar pohon itu berkata ramah
kepadanya, “Ayo panjatlah aku. Bangunlah rumah bermain kecil di atas sini. Kamu
boleh menggunakan dahan kecilku jika kamu mau, juga daunku yang berlimpah.”
Maka anak itu memanjat pohon itu, mematahkan beberapa ranting, mengambil
dedaunan, dan membuat rumah rahasia yang tinggi di pohon itu. Meski itu
menyakiti pohon, namun pohon itu bahagia berkorban sedikit untuk melihat anak
itu mendapatkan begitu banyak kesenangan. Selama hari-hari yang panjang, anak
itu akan bermain di dalam rumah pohon. Pohon itu puas.
Ketika anak itu tumbuh lebih dewasa, ia berhenti bermain di
pohon itu. Pohon itu menjadi sedih, rantingnya merunduk dan deadunannya
kehilangan kilaunya.
Selang beberapa tahun, anak yang kini remaja itu
kembali. Pohon itu kegirangan melihatnya
lagi. Pemuda itu merasa ia mendengar pohon itu berkata, “Ayo panjatlah aku
lagi. Rumah pohon lamamu masih di sini. Aku merindukanmu.”
“Kini aku terlalu tua untuk bermain rumah pohon,’ pikir
remaja itu. “Aku ingin kuliah tapi aku terlalu miskin.”
“Tidak masalah,’ pohon itu tampaknya berkata, “Kembalilah
seminggu lagi. Aku akan mengeluarkan buah. Aku akan hasilkan ekstra. Silakan
panen semua buahku dan juallah untuk membayar biaya kuliahmu.”
Maka anak itu kembali tujuh hari kemudian. Pohon itu
dipenuhi buah ranum. Anak itu mengambil semuanya sampai buah yang terkahir,
menjualnya, dan cukup untuk biaya kuliah satu tahun. Pohon itu sangat bahagia.
Anak itu kembali selama tiga tahun berikutnya, mengambil
setiap buahnya dan menjualnya untuk memenuhi biayanya. Pohon itu gembira. Pohon
itu bahkan kelihatannya berusaha lebih keras tiap tahunnya untuk menghasilkan
lebih banyak buah untuk sahabatnya, meskipun ini membuat pohon itu kelelahan
dan makin sakit.
Ketika anak itu lulus, ia berhenti datang. Pohon itu sedih
lagi. Beberapa tahun kemudian, anak itu, kini menjadi pemuda, kembali. Ia
memiliki kesan yang sangat jelas bahwa pohon tua itu menangis kegirangan
melihatnya lagi. “Tunggu beberapa hari lagi. Walau aku kini agak lemah, aku
masih bisa menghasilkan banyak buah agar kamu jual untuk biaya kuliahmu.”
“Aku tidak kuliah lagi,” kata pemuda itu, “aku sudah punya
pekerjaan. Aku sudah jatuh cinta dan ingin menikah, namun kami membutuhkan
rumah untuk ditinggali.”
“Tidak masalsah,” pohon itu agaknya berkata, “kembalilah
besok dengan gergaji. Ambil dahan tebalku. Itu bisa untuk membuat papan lantai
dan tiang yang kuat. Bahkan ada cukup kayu untuk membuat dindingnya. Gunakan
dahan kecil dan daun besar untuk atapnya. Ada banyak.”
Demikianlah, hari berikutnya, pemuda itu mengambil seluruh
dahan dan daun untuk membuat rumahnya, menyisakan hanya batangnya. Meski itu
melukai pohon itu dengan parah, pohon itu bahagia membuat pengorbanan besar
untuk seseorang yang dicintainya.
Selama bertahun-tahun, anak itu tidak pernah kembali. Pohon
itu bergantung pada kenangan bahagianya untuk mempertahankan hidupnya.
Kala anak itu datang lagi, kini menjadi pria setengah baya,
pohon itu nyaris melompat keluar dari tanah dengan sukacita. “Selamat datang!
Sungguh bahagia melihatmu lagi!” Bahkan kali ini burung-burung pun bisa
mendengar pohon itu. “Apa yang bisa kulakukan untukmu? Mohon izinkan aku
membantu.”
“Aku kini punya anak,” jawab pria itu, “dan aku ingin
memulai usaha perabotanku sendiri untuk mendapat cukup uang untuk memberi
mereka kehidupan yang baik.”
“Bagus sekali,” kata pohon tua itu, “meski kamu mungkin
berpikir aku cuma tunggul tua, ada banyak kayu indah dalam batangku untuk
membuat banyak perabot mahal. Ambillah. Aku akan bahagia jika kamu ambil
semua.”
Maka pria itu datang esoknya, menebang batang pohon itu dan
mendapat cukup banyak kayu kelas satu untuk memulai usaha perabotannya.
Tak lama setelahnya, pohon itu mati.
Bertahun-tahun kemudian, anak itu, kini telah menjadi
orangtua, mengunjungi tempat dimana pohon yang sehat itu pernah berdiri, tempat
ia membangun rumah pohon semasa ia kecil, yang selalu begitu dermawan
kepadanya. Yang tersisa hanyalah akar yang melapuk. Orang tua itu membaringkan
kepalanya di atas akar-akar itu sejenak. Akar itu jauh lebih nyaman daripada
bantal bulu. Ia ingat dengan berurai air mata bagaimana pohon itu telah
menolongnya, tanpa bertanya, tiap kali ia membutuhkan pertolongan. Bagaimana
pohon itu mengorbankan segalanya untuknya, dan bahagia melakukannya setiap
saat. Ia pu tertidur.
Ketika ia bangun dari mimpi itu, ia menyadari bahwa pohon
itu adalah orangtuanya.
0 comments:
Post a Comment