Hampir semua
masyarakat Solo pasti sudah tahu atau mengenal nama dr Lo Siaw Ging, Dokter
yang satu ini menjadi buah bibir di Solo maupun di media karena
kedermawanannya, meskipun usianya yang sudah lanjut, selama ia berpraktik
menjadi dokter, ia tidak pernah meminta bayaran dari pasien yang ia obati,
bahkan terkadang ia membantu pasien yang tidak mampu menebus obat dengan uang
yang dimiliki oleh dr Lo Siaw Ging sendiri, hal ini menjungkirbalikkan hal yang
biasa orang bicarakan yaitu "Orang miskin dilarang sakit" karena
biaya berobat mahal. Dr Lo Siaw Ging sang Dokter Teladan ini memiliki visi yang
sama dengan dr lie Dharmawan yang juga salah satu dokter yang patut untuk
diteladani karena mereka sangat peduli dengan orang yag kurang mampu. Tidak
seperti kebanyakan dokter dokter yang memiliki kehidupan yang kaya atau
berkecukupan luar biasa, kehidupan dr Lo Siaw Ging sangat sederhana.
Biografi dr Lo Siaw Ging
dr Lo Siaw Ging Lahir di Magelang, 16 Agustus 1934, Lo
tumbuh dalam sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang merupakan pengusaha
tembakau yang moderat. Ayahnya bernama Lo Ban Tjiang dan ibunya bernama Liem
Hwat Nio, keduanya memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih apa yang
dinginkan. Salah satunya adalah ketika Lo ingin melanjutkan SMA ke Semarang,
karena dia menganggap tidak ada SMA yang kualitasnya bagus di Magelang ketika
itu.
Setamat SMA, Lo Siaw Ging menyatakan keinginannya untuk
kuliah di kedokteran. Ketika itu, ayahnya hanya berpesan jika ingin menjadi
dokter jangan berdagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi
dokter. Rupanya, nasehat itu sangat membekas di hati Lo. Maksud nasehat itu,
menurut Lo Siaw Ging, seorang dokter tidak boleh mengejar materi semata karena
tugas dokter adalah membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Kalau hanya
ingin mengejar keuntungan, lebih baik menjadi pedagang yang berarti "Jika
ingin kaya jangan menjadi Dokter tetapi jadilah seorang pedagang."
Jadi siapa pun pasien
yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus melayani dengan baik. Membantu
membantu orang itu tidak boleh membeda-bedakan. Semuanya harus dilakukan dengan
ikhlas. Profesi dokter itu menolong orang sakit, bukan menjual obat,
Lo Siaw Ging sudah menjadi dokter sejak 1963, Lo Siaw Ging
mengawali karir dokternya di poliklinik Tsi Sheng Yuan milik Dr Oen Boen Ing
(1903-1982), seorang dokter legendaris di Solo. Pada masa orde baru, poliklinik
ini berkembang menjadi RS Panti Kosala, dan kini berganti nama menjadi RS Dr
Oen. Selain dari ayahnya, Lo Siaw Ging mengaku banyak belajar dari Dr Oen.
Selama 15 tahun bekerja pada seniornya itu, Lo Siaw Ging mengerti benar
bagaimana seharusnya menjadi seorang dokter. ”Dia tidak hanya pintar mengobati,
tetapi juga sederhana dan jiwa sosialnya luar biasa,” kata mantan Direktur
Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo.
Dokter Lo Siaw Ging menjadi istimewa karena tidak pernah
memasang tarif. Ia juga tak pernah membedakan pasien kaya dan miskin. Ia justru
marah jika ada pasien yang menanyakan ongkos periksa padahal ia tidak punya
uang. Bahkan, selain membebaskan biaya periksa, tak jarang Lo juga membantu
pasien yang tidak mampu menebus resep. Ia akan menuliskan resep dan meminta
pasien mengambil obat ke apotek tanpa harus membayar. Pada setiap akhir bulan,
pihak apotek yang akan menagih harga obat kepada sang dokter.
Saya tahu pasien mana
yang mampu membayar dan tidak. Untuk apa mereka membayar ongkos dokter dan obat
kalau setelah itu tidak bisa membeli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak
bisa makan.
Perlakuan ini bukan hanya untuk pasien yang periksa di tempat
prakteknya, tapi juga untuk pasien-pasien rawat inap di rumah sakit tempatnya
bekerka, RS Kasih Ibu. Alhasil, Lo harus membayar tagihan resep antara Rp 8
juta hingga Rp 10 juta setiap bulan. Jika biaya perawatan pasien cukup besar,
misalnya, harus menjalani operasi, Lo tidak menyerah. Ia akan turun sendiri
untuk mencari donatur. Bukan sembarang donatur, sebab hanya donatur yang
bersedia tidak disebutkan namanya yang akan didatangi Lo.
Apa yang dikatakan Lo Siaw Ging tentang membantu siapa pun
yang membutuhkan itu bukanlah omong kosong. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998
lalu misalnya, Lo tetap buka praktek. Padahal para tetangganya meminta agar dia
tutup karena situasi berbahaya, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun,
Lo tetap menerima pasien yang datang. Para tetangga yang khawatir akhirnya
beramai-ramai menjaga rumah Lo.
“Banyak yang butuh pertolongan, termasuk korban kerusuhan,
masak saya tolak. Kalau semua dokter tutup siapa yang akan menolong mereka?”
kata Lo yang juga lulusan Managemen Administrasi Rumah Sakit (MARS) dari
Universitas Indonesia.
Hingga kerusuhan berakhir dan situasi kembali aman, rumah Lo
tidak pernah tersentuh oleh para perusuh. Padahal rumah-rumah di sekitarnya
banyak yang dijarah dan dibakar. Kini, meski usianya sudah hampir 80 tahun, dr
Lo Siaw Ging tidak mengurangi waktunya untuk tetap melayani pasien. Setiap
hari, Rumah dr Lo di Jalan Yap Tjwan Bing No 27, Jagalan, Jebres, Solo, Jawa
Tengah, tampak selalu dipadati warga yang mengantre untuk berobat kepada dr. Lo
Siaw Ging. Setiap hari, dr Lo mulai buka praktik pukul 06.00 dan pukul 16.00.
Saat siang, ia melayani pasien di Rumah Sakit Kasih Ibu di Jalan Slamet Riyadi,
Solo. Setelah istirahat dua jam, ia kembali buka praktek di rumahnya sampai
pukul 20.00.
Selama saya masih kuat,
saya belum akan pensiun. Menjadi dokter itu baru pensiun kalau sudah tidak bisa
apa-apa. Kepuasan bagi saya bisa membantu sesama, dan itu tidak bisa dibayar
dengan uang..
Menurut Lo Siaw Ging, istrinya memiliki peran besar terhadap
apa yang ia lakukan. Tanpa perempuan itu, kata Lo, ia tidak akan bisa melakukan
semuanya. “Dia perempuan luar biasa. Saya beruntung menjadi suaminya,” ujar Lo
tentang perempuan yang ia nikahi tahun 1968 itu.
Puluhan tahun menjadi dokter, dan bahkan pernah menjadi direktur
sebuah rumah sakit besar, kehidupan Lo tetap sederhana. Bersama istrinya, ia
tinggal di rumah tua yang relatif tidak berubah sejak awal dibangun, kecuali
hanya diperbarui catnya. Bukan rumah yang megah dan bertingkat seperti umumnya
rumah dokter.
Rumah ini sudah cukup
besar untuk kami berdua. Kalau ada penghasilan lebih, biarlah itu untuk mereka
yang membutuhkan. Kebutuhan kami hanya makan. Bisa sehat sampai usia seperti
sekarang ini saja, saya sudah sangat bersyukur. Semakin panjang usia, semakin
banyak kesempatan kita untuk membantu orang lain.
Alumni dari Universitas Airlangga tahun 1962 yang sempat
mencicipi pendidikan di Manajemen Administrasi Rumah Sakit di Universitas
Indonesia ini pernah menjabat sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Kasih Ibu,
Solo, periode 1981-2004. Setelah pensiun dari kursi direktur, suami dari Maria
Gan May Kwee tersebut tetap melayani pasien di rumah sakit yang sama dan di
tempat praktiknya sekaligus rumahnya di Jagalan, Jebres, Solo, sampai kini.
Setiap akhir bulan, apotek langganan dokter Lo Siaw Ging akan memberikan
tagihan obat yang besarnya bervariasi antara ratusan ribu hingga sepuluh juta
per bulan. Untuk pasien yang sakit parah, dokter Lo juga menyediakan dana
pribadi untuk keperluan rawat pasien di Rumah Sakit Kasih Ibu. Di tengah biaya
obat-obatan yang mahal, pelayanan rumah sakit yang sering menjengkelkan, dan
dokter yang lebih sering mengutamakan materi, keberadaan Lo Siaw Ging memang
seperti embun yang menyejukkan. Rasanya, sekarang ini tidak banyak dokter seperti
Dr Lo.
0 comments:
Post a Comment