Perempuan berusia sekitar 70 tahun ini dirawat sejak 10 hari
lalu. Masuk rumah sakit karena tidak mau makan, panas. Menurut sang suami yang
mendampinginya, istrinya akhir-akhir ini kelihatan lemah, gelisah, seperti
tidak sadar.
"Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, biasanya
kalau mau makan, minum atau buang air istri saya selalu memanggil saya, walau
hanya dengan mengangkat tangannya (ternyata pasien ini mengalami aphasia, tidak
bisa bicara akibat stroke) , dalam dua hari ini tidak bisa lagi dokter,"
cerita sang suami waktu pertama kali bertemu saya di ruang perawatan.
Menurut sang suami, sudah lebih dari 6 tahun istrinya
terbaring di rumah. Waktu itu, pasien mengalami lumpuh tidak bisa bicara. Tidak
berapa lama setelah itu, sempat membaik, tetapi kemudian mengalami serangan
lagi.
"Jangankan duduk, miringpun sendiri tidak bisa",
sambungnya sambil menatap sang istri yang lemah terbaring di tempat tidurnya.
"Enam tahun terbaring di rumah, siapa yang
merawatnya?" tanya saya, seolah-olah tidak percaya.
"Saya sendiri dokter, kadang-kadang dibantu
anak-anak," jawab si Bapak.
Waktu saya memeriksa pasien, walau sangat kurus, saya lihat
pasien ini sangat terawat dengan baik. Pasien kelihatan bersih, tidak ada bau
tidak enak sama sekali, tidak seperti yang sering ditemukan pada punggung
pasien stroke yang terbaring lama, luka dekubitus juga tidak saya lihat sama
sekali.
Dalam hati saya bergumam, luar biasanya Bapak ini. Pasti
bapak ini benar-benar mencurahkan waktu dan hidupnya untuk sang istri. Kontras
dengan kebanyakan pasien lain yang hanya dalam waktu 2-4 minggu terbaring di
tempat tidurnya, maka luka di punggung mereka sudah mulai merebak.
"Apa betul Bapak sendiri yang merawat Ibuk, apa ada
perawat yang datang ke rumah?," tanya saya.
"Tidak dokter, saya tidak mungkin bisa membayarnya,
kalau tiap hari, dan saya merasa, lebih baik saya sendiri yang melakukannya,
kapan lagi saya diberi kesempatan untuk melayaninya," jawab si Bapak.
"Jadi, apa yang bapak lakukan, sehingga Ibu yang
terbaring lama ini masih bisa seperti ini?," tanya saya lagi.
"Setiap hari saya mandikan, saya dudukan, miringkan,
punggungya saya taburi bedak, dan 2-3 kali dalam seminggu, waktu pagi hari saya
bawa ke luar dokter," jawabnya.
"Hmmm, pantaslah kalau begitu," komentar saya
dalam hati. "Bapak luar biasa, tidak banyak orang yang dapat melakukannya
seperti itu sekarang, pasti bapak sangat mencintai istri bapak?"
Mendengar saya bicara seperti itu, spontan Ia menjawab,
"Ya lah dok. Kalau tidak, tidak mungkin saya melakukan semua itu. Dan,
kalau masih bisa diobati, saya minta obat yang terbaik untuk istri saya,
biarlah mahal dokter. Walaupun Istri saya seperti itu, hanya terbaring di
tempat tidur, saya tidak keberatan mengurusnya".
Lalu, sebenarnya hati saya berkata, melihat kondisi pasien
begitu, hanya diam terbaring, semua kebutuhannya dilayani, kalau Allah
menghendaki lain, apa itu tidak lebih baik untuknya?.....
Tetapi sebagai dokter saya tidak boleh berpikir begitu, saya
harus tetap berupaya maksimal memberikan yang terbaik untuknya, apalagi suami
pasien ini saya lihat sangat berharap atas kesembuhan istrinya, paling tidak
kembali seperti semula.
Kemudian, dalam 4-5 hari perawatan keadaan pasien tampak
masih stabil. Setiap kali visite, setiap kali itu pula sang suami duduk di
samping tempat tidurnya. Kalau tidak lagi memijit kaki istrinya, dipegangnya
jari-jari dan diusapnya keningnya. Bahkan pernah suatu malam saya mampir ke
kamarnya, bapak itu masih duduk di sana.
"Bapak tidak tidur?" tanya saya.
"Tidur jugalah dokter, kalau sudah mengantuk sekali
atau kalau anak-anak saya ada yang nunggu", jawab Bapak itu.
Melihat wajahnya, saya tidak percaya bahwa tidurnya sedikit.
Kelihatan beliau tetap seger, tidak nampak wajah kelelahan sama sekali. Lalu
saya ingat ada penelitian yang menunjukkan bahwa mencintai itu menyehatkan,
dapat meningkatkan imunitas seseorang.
Melayani, memberi dengan penuh cinta, kasih sayang,
kedamaian tidak hanya menyehatkan terhadap orang yang menerimanya, tetapi juga
bagi mereka yang memberikan itu, bahkan lebih positp lagi dibandingkan dengan
mereka yang hanya lebih sering menerima saja. Barangkali karena keikhlasan,
kecintaan bapak ini dalam melayani istrinya, yang membuatnya sangat sehat, dan
bahkan tampak lebih muda dari usia yang sebenarnya.
Hari ke 6 pasien dirawat, waktu visite pagi, bapak itu
tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. "Alhamdulillah istri saya sudah
mulai baik dokter, semalam Ia mulai sadar, sudah mau minta makan dan minum,
terimakasih. saya senang sekali dokter", kata bapak itu setengah
berteriak.
"Ya, Pak, syukurlah, kelihatannya memang begitu. Ini
semua karena bapak. Cinta, kasih sayang, sentuhan, belaian, dukungan dan doa
bapak yang membuat Ibu membaik," kata saya.
Cinta, kasih-sayang, perhatian, dukungan keluarga, apalagi
dari suami, istri, anak-anak merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan.
Walaupun itu semua tidak kasat mata, tidak berarti tidak ada pengaruhnya.
Banyak penelitian yang memperlihatkan hubungan positif cinta, kasih sayang
terhadap harapan hidup pasien, bahkan pada penyakit-penyakit kritis.
Penelitian pada pasien-pasien yang pernah mengalami serangan
jantung menunjukkan bahwa mereka yang mendapatkan cinta, kasih-sayang, dukungan
dari keluaraga, apalagi istri atau suami, mempunyai harapan hidup yang lebih
lama. Pasien juga mengalami serangan ulang lebih kecil dibandingkan dengan
mereka yang kurang mendapatkannya. Penyembuhan luka pada pasien yang
mendapatkan dukungan keluarga juga lebih cepat dibandingkan yang tidak.
Oleh karena itu, saya tidak heran melihat perbaikan yang
dialami pasien ini. Cinta, sentuhan yang diberikan sang suami telah memberi
kekuatan kepada sang Istri untuk melawan penyakitnya. Sayang, kebanyakan kita
sekarang terlalu sibuk untuk sedikit menyisihkan waktu kita untuk mereka,
keluarga yang terbaring sakit.(kompas/19/6/13)
Diposkan oleh Rizki Mega Saputra
0 comments:
Post a Comment