Karena Aku Wanita - Menikah Tanpa Cinta... Bagaimana bila
Anda merasakannya? Menyesal? JANGAN! Karena Allah memang MAHA TAHU yang terbaik
buat makhluk-Nya. Seperti KISAH INSPIRATIF kali ini, semoga bermanfaat....
***
Seorang akhwat menceritakan kenangan masa lalunya yang tak
terlupakan:
“Namaku Mariani, orang-orang biasa memangilku Aryani. Ini
adalah kisah perjalanan hidupku yang hingga hari ini masih belum lengkang dalam
benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup bila aku
sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Yah, sebuah perjalanan kisah
yang sungguh aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku sendiri menyangka bahwa di
dunia ini mungkin tak ada lagi orang seperti dia.
Tahun 2007 silam, aku dipaksa orang tuaku menikah dengan
seorang pria, Kak Arfan namanya. Kak Arfan adalah seorang lelaki yang tinggal
sekampung denganku, tapi dia seleting dengan kakakku saat sekolah dulu. Usia
kami terpaut 4 Tahun. Yang aku tahu bahwa sejak kecilnya Kak Arfan adalah anak
yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin ibadah. Tabiatnya yang seperti itu
terbawa-bawa sampai ia dewasa. Aku
merasa risih sendiri dengan Kak Arfan apabila berpapasan di jalan, sebab
sopan santunnya sepertinya terlalu berlebihan pada orang-orang. Geli aku
menyaksikannya, yah, kampungan banget gelagatnya…,
Setiap ada acara-acara ramai di kampung pun Kak Arfan tak
pernah kelihatan bergabung sama teman-teman seusianya. Yaah, pasti kalau dicek
ke rumahnya pun gak ada, orang tuanya pasti menjawab “Kak Arfan di mesjid nak,
menghadiri taklim”. Dan memang mudah sekali mencari Kak Arfan, sejak lulus dari
Pesantren Al-Khairat Kota Gorontalo.
Kak Arfan sering menghabiskan waktunya membantu orang tuanya
jualan, kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Meskipun
kadang sebagian teman sebayanya menyayangkan potensi dan kelebihan-kelebihannya
yang tidak tersalurkan. Secara fisik memang Kak Arfan hampir tidak sepadan
dengan ukuran ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Sebab kadang gadis-gadis
kampung suka menggodanya kalau Kak Arfan dalam keadaan rapi menghadiri
acara-acara di desa.
Tapi bagiku sendiri, itu adalah hal yang biasa-biasa saja,
sebab aku sendiri merasa bahwa sosok Kak Arfan adalah sosok yang tidak
istimewa. Apa istimewanya menghadiri taklim, kuper dan kampungan banget. Kadang
hatiku sendiri bertanya, koq bisa yah, ada orang yang sekolah di kota namun
begitu kembali tak ada sedikitpun ciri-ciri kekotaan melekat pada dirinya, HP gak
ada. Selain bantu orang tua, pasti kerjanya ngaji, sholat, taklim dan kembali
ke kerja lagi. Seolah ruang lingkup hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja,
ke biosokop kek, ngumpul bareng teman-teman kek setiap malam minggunya di
pertigaan kampung yang ramainya luar biasa setiap malam minggu dan malam
Kamisnya. Apalagi setiap malam Kamis dan malam Minggunya ada acara curhat kisah
yang TOP banget di sebuah station Radio Swasta digotontalo, kalau tidak salah
ingat nama acaranya Suara Hati dan nama penyiarnya juga Satrio Herlambang.
Waktu terus bergulir dan seperti gadis-gadis modern pada
umumnya yang tidak lepas dengan kata Pacaran, akupun demikian. Aku sendiri
memiliki kekasih yang begitu sangat aku cintai, namanya Boby. Masa-masa indah
kulewati bersama Boby. Indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua orang tua
Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas
hubungan kami. Hingga musibah itu tiba, aku dilamar oleh seorang pria yang
sudah sangat aku kenal. Yah siapa lagi kalau bukan si kuper Kak Arfan lewat
pamanku. Orang tuanya Kak Arfan melamarku untuk anaknya yang kampungan itu.
Mendengar penuturan mama saat memberitahu padaku tentang
lamaran itu, kurasakan dunia ini gelap, kepalaku pening…, aku berteriak
sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran itu dengan tegas dan
terbelit-belit aku sampaikan langsung pada kedua orang tuaku bahwa aku menolak
lamaran keluarganya Kak Arfan. dan dengan terang-terangan pula aku sampaikan
pula bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku, Boby.
Mendengar semua itu ibuku shock dan jatuh tersungkur
kelantai. Akupun tak menduga kalau sikapku yang egois itu akan membuat mama
shock. Baru kutahu bahwa yang menyebabkan mama shok itu karena beliau sudah
menerima secara resmi lamaran dari orang tuanya Kak Arfan. Hatiku sedih saat
itu, kurasakan dunia begitu kelabu. Aku seperti menelan buah simalakama,
seperti orang yang paranoid, tidak tahu harus ikut kata orang tua atau lari
bersama kekasih hatiku Boby.
Hatiku sedih saat itu. Dengan berat hati dan penuh kesedihan
aku menerima lamaran Kak Arfan untuk menjadi istrinya dan kujadikan malam
terakhir perjumpaanku dengan Boby di rumahku untuk meluapkan kesedihanku.
Meskipun kami saling mencintai, tapi mau tidak mau Boby harus merelakan aku
menikah dengan Kak Arfan. Karena dia sendiri mengakui bahwa dia belum siap
membina rumah tangga saat itu.
Tanggal 11 Agustus 2007 akhirnya pernikahanku pun digelar.
Aku merasa bahwa pernikahan itu begitu menyesakkan dadaku. Air mataku tumpah di
malam resepsi pernikahan itu. Di tengah senyuman orang-orang yang hadir pada
acara itu, mungkin akulah yang paling tersiksa. Karena harus melepaskan masa
remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah kucintai. Dan yang paling
membuatku tak bisa menahan air mataku, mantan kekasihku Boby hadir juga pada
resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah mengapa semua ini harus terjadi padaku ya
Allah… mengapa aku yang harus jadi korban dari semua ini?
Waktu terus berputar dan malam pun semakin merayap. Hingga
usailah acara resepsi pernikahan kami. Satu per satu para undangan pamit pulang
hingga sepi lah rumah kami. Saat masuk ke dalam kamar, aku tidak mendapati
suamiku Kak Arfan di dalamnya. Dan sebagai seorang istri yang hanya terpaksa
menikah dengannya, maka aku pun membiarkannya dan langsung membaringkan tubuhku
setalah sebelumnya menghapus make-up pengantinku dan melepaskan gaun
pengantinku. Aku bahkan tak perduli kemana suamiku saat itu. Karena rasa capek
dan diserang kantuk, aku pun akhirnya tertidur.
Tiba-tiba di sepertiga malam, aku tersentak tatkala melihat
ada sosok hitam yang berdiri disamping ranjang tidurku. Dadaku berdegup
kencang. Aku hampir saja berteriak histeris, andai saja saat itu tak kudengar
suara takbir terucap lirih dari sosok
yang berdiri itu. Perlahan kuperhatikan dengan seksama, ternyata sosok yang
berdiri di sampingku itu adalah Kak Arfan suamiku yang sedang sholat tahajud.
Perlahan aku baringkan tubuhku sambil membalikkan diriku membelakanginya yang
saat itu sedang sholat tahajud. Ya Allah aku lupa bahwa sekarang aku telah
menjadi istrinya Kak Arfan. Tapi meskipun demikian, aku masih tak bisa menerima
kehadirannya dalam hidupku. Saat itu karena masih dibawah perasan ngantuk, aku
pun kembali teridur. Hingga pukul 04.00 dini hari, kudapati suamiku sedang
tidur beralaskan sajadah di bawah ranjang pengantin kami.
Dadaku kembali berdetak kencang kala mendapatinya. Aku masih
belum percaya kalau aku telah bersuami. Tapi ada sebuah pertanyaaan terbetik
dalam benakku. Mengapa dia tidak tidur di ranjang bersamaku. Kalaupun dia belum
ingin menyentuhku, paling gak dia tidur seranjang denganku itukan logikanya.
Ada apa ini? ujarku perlahan dalam hati. Aku sendiri merasa bahwa mungkin malam
itu Kak Arfan kecapekan sama sepertiku sehingga dia tidak mendatangiku dan
menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Tapi apa peduliku dengan itu
semua, toh akupun tidak menginginkannya, gumamku dalam hati.
Hari-hari terus berlalu. Kami pun mejalani aktifitas kami
masing-masing, Kak Arfan bekerja mencari rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan
aku di rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah
bersuami dan memiliki kewajiban melayani suamiku. Yah minimal menyediakan
makanannya, meskipun kenangan-kenangan bersama Boby belum hilang dari benakku,
aku bahkan masih merindukannya.
Semula kufikir bahwa prilaku Kak Arfan yang tidak pernah
menyentuhku dan menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi malam
pernikahan kami. Tapi ternyata yang terjadi hampir setiap malam sejak malam
pengantin itu, Kak Arfan selalu tidur beralaskan permadani di bawah ranjang
atau tidur di atas sofa dalam kamar kami. Dia tidak pernah menyentuhku walau
hanya menjabat tanganku. Jujur segala kebutuhanku selalu dipenuhinya. Secara
lahir dia selalu menafkahiku, bahkan nafkah lahir yang dia berikan lebih dari
apa yang aku butuhan. Tapi soal biologis, Kak Arfan tak pernah sama sekali
mengungkit- ungkitnya atau menuntutnya dariku. Bahkan yang tidak pernah
kufahami, pernah secara tidak sengaja kami bertabrakan di depan pintu kamar,
Kak Arfan meminta maaf seolah merasa bersalah karena telah menyentuhku.
Ada apa dengan Kak Arfan? Apakah dia lelaki normal? Kenapa
dia begitu dingin padaku? Apakah aku kurang di matanya? atau? Pendengar, jujur
merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Ada
apa dengan suamiku? Bukankah dia adalah pria yang beragama dan tahu bahwa
menafkahi istri itu secara lahir dan batin adalah kewajibannya? Ada apa
dengannya? padahal setiap hari dia mengisi acara-acara keagamaan di mesjid. Dia
begitu santun pada orang-orang dan begitu patuh kepada kedua orangtuanya.
Bahkan terhadap aku pun hampir semua kewajibannya telah dia tunaikan dengan
hikmah, tidak pernah sekali pun dia bersikap kasar dan berkata-kata keras
padaku. Bahkan Kak Arfan terlalu lembut bagiku.
Tapi satu yang belum dia tunaikan yaitu nafkah batinku. Aku
sendiri saat mendapat perlakuan darinya setiap hari yang begitu lembutnya mulai
menumbuhkan rasa cintaku padanya dan membuatku perlahan-lahan melupakan masa
laluku bersama Boby. Aku bahkan mulai merindukannya tatkala dia sedang tidak di
rumah. Aku bahkan selalu berusaha menyenangkan hatinya dengan melakukan apa-apa
yang dia anjurkannya lewat ceramah-ceramahnya pada wanita-wanita muslimah,
yakni mulai memakai busana muslimah yang syar’i.
Memang dua hari setelah pernikahan kami, Kak Arfan memberiku
hadiah yang diisi dalam karton besar. Semula aku mengira bahwa hadiah itu
adalah alat-alat rumah tangga. Tapi setelah kubuka, ternyata isinya lima potong
jubah panjang berwarna gelap, lima buah jilbab panjang sampai selutut juga
berwana gelap, lima buah kaos kaki tebal panjang berwarna hitam dan lima pasang
manset berwarna gelap pula. Jujur saat membukanya aku sedikit tersinggung,
sebab yang ada dalam bayanganku bahwa inilah konsekuensi menikah dengan seorang
ustadz. Aku mengira bahwa dia akan memaksa aku untuk menggunakannya. Ternyata
dugaanku salah sama sekali. Sebab hadiah itu tidak pernah disentuhnya atau
ditanyakannya.
Kini aku mulai menggunakannya tanpa paksaan siapapun.
Kukenakan busana itu agar dia tahu bahwa aku mulai menganggapnya istimewa.
Bahkan kebiasaannya sebelum tidur dalam mengajipun sudah mulai aku ikuti.
Kadang ceramah-ceramahnya di mesjid sering aku ikuti dan aku praktekkan di
rumah.
Tapi satu yang belum bisa aku mengerti darinya. Entah
mengapa hingga enam bulan pernikahan kami, dia tidak pernah menyentuhku. Setiap
masuk kamar pasti sebelum tidur, dia selalu mengawali dengan mengaji, lalu
tidur di atas hamparan permadani di bawah ranjang hingga terjaga lagi di
sepertiga malam, lalu melaksanakan sholat Tahajud. Hingga suatu saat Kak Arfan
jatuh sakit. Tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi. Aku sendiri bingung
bagaimana cara menanganinya. Sebab Kak Arfan sendiri tidak pernah menyentuhku.
Aku khawatir dia akan menolakku bila aku menawarkan jasa membantunya. Ya
Allah..apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku ingin sekali meringankan
sakitnya, tapi apa yang harus saya lakukan ya Allah..
Malam itu aku tidur dalam kegelisahan. Aku tak bisa tidur
mendengar hembusan nafasnya yang seolah sesak. Kudengar Kak Arfan pun sering
mengigau kecil. Mungkin karena suhu panasnya yang tinggi sehingga ia selalu
mengigau. Sementara malam begitu dingin, hujan sangat deras disetai angin yang
bertiup kencang. Kasihan Kak Arfan, pasti dia sangat kedinginan saat ini.
Perlahan aku bangun dari pembaringan dan menatapnya yang sedang tertidur pulas.
Kupasangkan selimutnya yang sudah menjulur kekakinya. Ingin sekali aku
merebahkan diriku di sampingnya atau sekedar mengompresnya. Tapi aku tak tahu
bagaimana harus memulainya. Hingga akhirnya aku tak kuasa menahan keinginan
hatiku untuk mendekatkan tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya.
Tapi baru beberapa detik tanganku menyentuh kulit dahinya,
Kak Arfan terbangun dan langsung duduk agak menjauh dariku sambil berujar
”Afwan dek, kau belum tidur? Kenapa ada di bawah? Nanti kau kedinginan? Ayo
naik lagi ke ranjangmu dan tidur lagi, nanti besok kau capek dan jatuh sakit?”
pinta kak Arfan padaku. Hatiku miris saat mendengar semua itu. Dadaku sesak,
mengapa Kak Arfan selalu dingin padaku. Apakah dia menganggap aku orang lain.
Apakah di hatinya tak ada cinta sama sekali untukku. Tanpa kusadari air mataku
menetes sambil menahan isak yang ingin sekali kulapkan dengan teriakan. Hingga
akhirnya gemuruh di hatiku tak bisa kubendung juga.
”Afwan kak, kenapa sikapmu selama ini padaku begitu dingin?
Kau bahkan tak pernah mau menyentuhku walaupun hanya sekedar menjabat tanganku?
Bukankah aku ini istrimu? Bukankah aku telah halal buatmu? Lalu mengapa kau
jadikan aku sebagai patung perhiasan kamarmu? Apa artinya diriku bagimu kak?
Apa artinya aku bagimu kak? Kalau kau tidak mencintaiku lantas mengapa kau
menikahiku? Mengapa kak? mengapa?” Ujarku disela isak tangis yang tak bisa
kutahan.
Tak ada reaksi apapun dari Kak Arfan menanggapi galaunya
hatiku dalam tangis yang tersedu itu. Yang nampak adalah dia memperbaiki posisi
duduknya dan melirik jam yang menempel di dinding kamar kami. Hingga akhirnya
dia mendekatiku dan perlahan berujar padaku:
”Dek, jangan kau pernah bertanya pada kakak tentang perasaan
ini padamu. Karena sesungguhnya kakak begitu sangat mencintaimu. Tetapi
tanyakanlah semua itu pada dirimu sendiri. Apakah saat ini telah ada cinta di
hatimu untuk kakak? Kakak tahu dan kakak yakin pasti suatu saat kau akan bertanya
mengapa sikap kakak selama ini begitu dingin padamu. Sebelumnya kakak minta
maaf bila semuanya baru kakak kabarkan padamu malam ini. Kau mau tanyakan apa
maksud kakak sebenarnya dengan semua ini?” ujar Kak Arfan dengan agak sedikit
gugup.
“Iya tolong jelaskan pada saya Kak, mengapa kakak begitu
tega melakukan ini padaku? tolong jelaskan Kak?” Ujarku menimpali tuturnya kak
Arfan.
“Hhhhhmmm, Dek kau tahu apa itu pelacur? Dan apa pekerjaan
seorang pelacur? Afwan dek dalam pemahaman kakak, seorang pelacur itu adalah
seorang wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung belang untuk
mendapatkan materi tanpa peduli apakah di hatinya ada cinta untuk lelaki itu
atau tidak. Bahkan seorang pelacur terkadang harus meneteskan air mata mana
kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak dicintainya. Bahkan dia sendiri
tidak merasakan kesenangan dari apa yang sedang terjadi saat itu. kakak tidak
ingin hal itu terjadi padamu dek.
Kau istriku dek, betapa bejatnya kakak ketika kakak harus
memaksamu melayani kakak dengan paksaan saat malam pertama pernikahan kita.
Sedangkan di hatimu tak ada cinta sama sekali buat kaka. Alangkah berdosanya
kakak, bila pada saat melampiaskan birahi kakak padamu malam itu, sementara
yang ada dalam benakmu bukanlah kakak tetapi ada lelaki lain. Kau tahu dek,
sehari sebelum pernikahan kita digelar, kakak sempat datang ke rumahmu untuk
memenuhi undangan Bapakmu. Tapi begitu kakak berada di depan pintu pagar
rumahmu, kakak melihat dengan mata kepala kakak sendiri kesedihanmu yang kau
lampiaskan pada kekasihmu Boby. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau tidak
mencintai kakak. Kau ungkapkan pada Boby bahwa kau hanya akan mencintainya
selamanya. Saat itu kakak merasa bahwa kakak telah merampas kebahagiaanmu.
Kakak yakin bahwa kau menerima pinangan kakak itu karena
terpaksa. Kakak juga mempelajari sikapmu saat di pelaminan. Begitu sedihnya
hatimu saat bersanding di pelaminan bersama kakak. Lantas haruskah kakak egois
dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu. Sementara tanpa memperdulikan
perasaanmu, kakak menunaikan kewajiban kakak sebagai suamimu di malam pertama.
Semenatara kau sendiri akan mematung dengan deraian air mata karena terpaksa
melayani kakak?
Kau istriku dek, sekali lagi kau istriku. Kau tahu, kakak
sangat mencintaimu. Kakak akan menunaikan semua itu manakala di hatimu telah
ada cinta untuk kakak. Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu. Agar kau bisa
menikmati apa yang kita lakukan bersama. Alhamdulillah apabila hari ini kau
telah mencintai kakak. Kakak juga merasa bersyukur bila kau telah melupakan
mantan kekasihmu itu. Beberapa hari ini kakak perhatikan kau juga telah
menggunakan busana muslimah yang syar’i. Pinta kakak padamu dek, luruskan
niatmu, kalau kemarin kau mengenakan busana itu untuk menyenangkan hati kakak
semata. Maka sekarang luruskan niatmu, niatkan semua itu untuk Allah ta’ala
selanjutnya untuk kakak.”
Mendengar semua itu, aku memeluk suamiku. Aku merasa bahwa
dia adalah lelaki terbaik yang pernah kujumpai selama hidupku. Aku bahkan telah
melupakan Boby. Aku merasa bahwa malam itu, aku adalah wanita yang paling
bahagia di dunia. Sebab meskipun dalam keadaan sakit, untuk pertama kalinya Kak
Arfan mendatangiku sebagai seorang suami. Hari-hari kami lalui dengan bahagia.
Kak Arfan begitu sangat kharismatik. Terkadang dia seperti seorang kakak buatku
dan terkadang seperti orang tua. Darinya aku banyak belajar banyak hal.
Perlahan aku mulai meluruskan niatku dengan menggunakan busana yang syar’i,
semata-mata karena Allah dan untuk menyenangkan hati suamiku.
Sebulan setelah malam itu, dalam rahimku telah tumbuh
benih-benih cinta kami berdua. Alhamdulillah, aku sangat bahagia bersuamikan
dia. Darinya aku belajar banyak tentang agama. Hari demi hari kami lalui dengan
kebahagiaan. Ternyata dia mencintaiku lebih dari apa yang aku bayangkan. Dulu
aku hampir saja melakukan tindakan bodoh dengan menolak pinangannya. Aku fikir
kebahagiaan itu akan berlangsung lama diantara kami, setelah lahir Abdurrahman,
hasil cinta kami berdua.
Di akhir tahun 2008,
Kak Arfan mengalami kecelakaan dan usianya tidak panjang. Sebab Kak
Arfan meninggal dunia sehari setelah kecelakaan tersebut. Aku sangat
kehilangannya. Aku seperti kehilangan penopang hidupku. Aku kehilangan
kekasihku. Aku kehilangan murobbiku, aku kehilangan suamiku. Tidak pernah
terbayangkan olehku bahwa kebahagiaan bersamanya begitu singkat. Yang tidak
pernah aku lupakan di akhir kehidupannya Kak Arfan, dia masih sempat
menasehatkan sesuatu padaku:
“Dek.. pertemuan dan perpisahan itu adalah fitrahnya
kehidupan. Kalau ternyata kita berpisah besok atau lusa, kakak minta padamu
Dek.., jaga Abdurrahman dengan baik. Jadikan dia sebagai mujahid yang
senantiasa membela agama, senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat. Didik
dia dengan baik Dek, jangan sia-siakan dia.
Satu permintaan kakak.., kalau suatu saat ada seorang pria
yang datang melamarmu, maka pilihlah pria yang tidak hanya mencintaimu. Tetapi
juga mau menerima kehadiran anak kita.
Maafkan kakak Dek.., bila selama bersamamu, ada kekurangan
yang telah kakak perbuat untukmu. Senantiasalah berdoa.., kalau kita berpisah
di dunia ini..Insya Allah kita akan berjumpa kembali di akhirat kelak . Kalau
Allah mentakdirkan kakak yang pergi lebih dahulu meninggalkanmu, Insya Allah
kakak akan senantiasa menantimu..”
Demikianlah pesan terakhir Kak Arfan sebelum keesokan
harinya Kak Arfan meninggalkan dunia ini. Hatiku sangat sedih saat itu. Aku
merasa sangat kehilangan. Tetapi aku berusaha mewujudkan harapan terakhirnya,
mendidik dan menjaga Abdurrahman dengan baik. Selamat jalan Kak Arfan. Aku akan
selalu mengenangmu dalam setiap doa-doaku, amiin. Wasallam”
***
0 comments:
Post a Comment