Penyesalan Sang Suami Kepada Istri. Nina dan Herman adalah
sepasang suami istri yang telah menjalani hubungan pacaran 10 tahun lamanya.
Akhirnya mereka menikah dan menjalani bahtera rumah tangga sebagaimana orang lainnya.
Di tahun pertama, kedua dan ketiga, kisah cinta ini begitu manis. Apalagi
keduanya dikaruniai seorang putra bernama Lilo.
Tahun keempat rumah tangga Nina dan Herman mulai terasa agak
berat. Mengasuh anak menjadi hal yang harus mereka pelajari bersama. Namun
berbekal dukungan orang tua dan rasa cinta mereka, apapun selalu ada solusinya
dan mereka bisa melewati masa sulit tersebut.
Beberapa tahun berlalu hingga Lilo sudah menginjak kelas
empat SD. Mengasuh satu anak hingga sebesar ini rupanya membuat Herman ingin
memiliki anak lagi. Namun Nina agak menolak, dengan alasan masih ingin mengecek
ke dokter perihal kondisinya.
Namun kondisi ini beberapa kali terjadi hingga setengah
tahun lamanya. Membuat Herman sedikit berpaling dari Nina. Apalagi di kantor,
ada seorang sekretaris baru yang membuat Herman merasa nyaman bernama Jenny.
Sedikit demi sedikit Jenny mulai menguasai pikiran dan hidup Herman. Membuatnya
jarang pulang tepat waktu dan membuat Nina heran.
“Kok sering pulang telat, Mas?” tanya Nina.
“Lembur..” Herman menjawab pendek sambil mengganti
pakaiannya. Ia sebenarnya masih mencintai Nina, namun di sisi lain ia makin
dekat dengan Jenny. Ia merasa hubungannya dengan Nina hambar serta membosankan
akhir-akhir ini. Kali ini bukan karena Nina menolak punya anak lagi, namun
kesibukan Nina dan Herman membuat pria ini merasa jarak mereka makin jauh dan
Nina seolah tak melihat hal itu sama sekali.
Kehidupan pernikahan Nina dan Herman makin menjemukan. Nina
makin bekerja keras dalam karirnya sehingga fokusnya seringkali hanya pada anak
dan karir. Nina memang lebih pendiam setelah Lilo masuk sekolah, tapi Herman
pikir mungkin hal ini disebabkan oleh keperluan anak mereka yang makin banyak.
Sesekali hubungan Nina dan Herman menegang oleh pertengkaran-pertengkaran
kecil. Herman sering pulang malam dan Nina mulai curiga dengan apa yang
dilakukan Herman di luar rumah.
“Aku kerja. Aku kan juga nggak pernah protes ketika kamu
pulang malam, Nina,” kata Herman dengan nada tinggi.
“Kamu berubah, Mas. Kerja juga nggak mungkin pulang malam
terus kan?” Nina membalas.
Herman mendengus sebal dan menyahut, “Kamu tanya saja
sendiri pada dirimu, kenapa aku jadi nggak betah. Kamu terlalu sibuk dengan
karirmu, aku juga bisa kalau begini caranya.” Ia sebenarnya sakit mengucapkan
hal ini pada Nina. Namun emosinya sudah lama tertahan dan kali ini ia merasa
muak pada omelan istrinya.
Jenny juga mulai berani mempengaruhi Herman untuk
menceraikan istrinya. Awalnya Herman ragu, namun makin sering ia dan Nina
bertengkar di belakang anaknya. Hal ini mulai membuat Herman merasa tidak
nyaman. Ia pun mulai menyampaikan keinginannya untuk bercerai. Tentu saja hal
ini membuat Nina hancur setengah mati. Ia menolak perceraian itu karena tidak
ingin Lilo merasakan keluarga yang retak.
Namun Herman makin menghancurkan hatinya karena menyodorkan
surat pengajuan cerai beberapa hari setelah ia menyampaikan keinginannya itu.
Semalaman Nina memandangi surat cerai terhampar di meja kerjanya, sementara
Herman tidur dengan tidak nyenyak di ranjangnya. Keesokan paginya, Nina
menyerahkan surat itu pada Herman dengan mata sembab karena sesekali menangis
dan belum tidur semalaman.
“Aku akan menandatanganinya setelah 30 hari. Dalam 30 hari
itu, aku ingin Mas selalu menggendong aku dari ranjang ke meja makan untuk
sarapan setiap pagi. Juga dari ruang keluarga ke kamar tidur setiap malam,”
ujar Nina dengan suara setengah serak seperti orang yang semalaman belum tidur.
Herman agak aneh dengan permintaan istrinya, namun ia tetap
menyanggupi permintaan itu. Ia pikir istrinya hanya ingin mengulur waktu cerai
dan membuat Herman kembali. Mendengar cerita itu, Jenny sedikit menertawai ulah
Nina. “Ada-ada saja. Setelah kondisi seperti ini, baru istrimu merajuk untuk
bisa kembali.”
Begitulah, sesuai janjinya, Herman selalu menggendong Nina
setiap pagi dan malam. Ia bisa merasakan Nina lebih bersandar padanya, namun di
sisi lain Herman berpikir bahwa Nina mungkin juga sedang menikmati momen-momen
akhir bersamanya. Sebentar lagi Herman tetap akan menceraikannya dan membawa
Jenny dalam kehidupan barunya.
Pemandangan romantis antara Nina dan Herman membuat Lilo
kadang bersorak pada kedua orang tuanya itu. “Wah, papa mama romantis banget,”
ujarnya girang. Hal ini membuat Herman sedikit berbesar hati., namun ia
meneguhkan dirinya agar tak mudah ternakan suasana Sementara Nina hanya
tersenyum penuh makna sambil bergelayut di leher suaminya ketika digendong.
Diam-diam, Herman merasa istrinya makin kurus dari hari ke
hari. Setiap gendongannya terasa makin ringan. Herman memandangi wajah istrinya
sesekali ketika menggendongnya sembari mengecup keningnya. Nina nampak lelah
belakangan ini, kantung matanya sering kelihatan membesar dan ia sering
menyandarkan kepalanya ke dada Herman. Hal ini membuat Herman mulai ragu dengan
keputusannya bercerai, ada kehangatan merasuk di dadanya setiap kali
menggendong Nina.
Tanpa terasa, Herman mulai merasakan cinta kembali bersemi
pada hubungannya dengan Nina. Ia merasa istrinya makin cantik dari hari ke
hari, hingga hari-hari penandatanganan surat ceri itu makin dekat. Saat Herman
hendak menggendong Nina di pagi hari ke 31, Nina menahan tangan Herman.
“Kan hari ini sudah lewat. Kamu nggak perlu gendong aku
lagi, Mas.” Herman tersenyum saja dan membawa Nina ke meja makan. Ia menyajikan
sarapan lalu mengecup kening Nina, “Sarapan aja, Nina. Selamat pagi.” Begitulah
Nina dan Herman menghabiskan sarapan mereka dengan lebih hangat dan mesra.
Namun di akhir sesi sarapan, Nina memberikan surat cerai yang sudah
ditandatangani dan dibungkus amplop.
“Ini, Mas. Terima kasih selama ini sudah mencintaiku,”
ujarnya sambil menitikkan air mata. Herman terpana, namun surat itu diterimanya
lalu sebelum berangkat ke kantor, Herman memeluk Nina.
Di kantor, Herman mengatakan pada Jenny bahwa ia
mengurungkan niatnya bercerai. Tentu saja wanita itu begitu kesal dan menampar
herman keras-keras. Herman tahu dengan konsekwensi ini, ia siap menerimanya
karena sejauh ini ia dan Jenny belum sampai berhubungan badan. Ia bersyukur
masih bisa mengendalikan dirinya selama ini dari berzina.
Sekarang yang ada di benaknya adalah Nina. Ia masih ingat
dengan bulir air mata Nina yang hangat jatuh di tangannya tadi pagi. Herman
merasakan cinta itu dan tak sabar ingin segera pulang. Ia bahkan menyempatkan
diri membeli buket bunga paling indah kesukaan Nina dan bergegas pulang sore
itu.
Sesampainya di rumah, Herman memanggil-manggil nama
istrinya. Namun ia tak juga mendengar jawaban. Hingga ia melihat Nina di
kamarnya, tidur dengan piyama yang masih melekat di tubuhnya tadi pagi. Namun
saat Herman mendekatinya, Nina sudah tidak bernyawa lagi. Herman tidak percaya,
bagaimana mungkin Nina bisa meninggal? Ia menggoncang-goncang tubuh dan wajah
Nina sambil memanggil namanya.
Kepergian Nina menjadi penyesalan yang tak terperi bagi
Herman. Rupanya selama ini Nina mengidap penyakit parah yang tak sempat
disampaikannya pada Herman. Di kala istrinya itu tengah memikirkan sendirian
dan berjuang melawan penyakitnya, Herman malah sibuk dengan rencana perceraian
mereka. Nina dimakamkan keesokan harinya, diiringi rasa sedih dan duka dari
Herman dan putra mereka, Lilo.
0 comments:
Post a Comment