17 Juli 1994 mungkin jadi salah satu hari yang tak bisa
dilupakan oleh publik Italia. Hari itu di Stadion Rose Bowl, Amerika Serikat,
Italia gagal menambahkan bintang keempat di emblem seragam tim nasional mereka.
Italia kalah 2-3 dalam adu penalti melawan Brasil. Di tengah
lapangan Romario, Bebeto, dan para pemain Brasil lainnya bersuka ria. Namun,
tak jauh dari sana, seorang pemain bernomor 10 Italia tengah tertunduk lesu di
kotak penalti.
Tendangannya baru saja melambung jauh di atas mistar.
Bidikannya yang meleset sama dengan kepastian gagalnya Italia mengangkat trofi
Piala Dunia untuk keempat kalinya. Dia Roberto Baggio.
Baggio adalah pemain terbaik dunia 1993 dan salah satu
pemain yang ditunggu penampilannya di Piala Dunia 1994. Baggio sukses menjawab
tantangan itu dengan baik.
Lima gol Baggio yang tercipta sejak fase knock-out menjadi
tangga Italia menapak babak final. Sayang, cerita Baggio di Piala Dunia 1994
berakhir duka.
Baik bagi Baggio dan
Italia.
Gagal memenangi Piala Dunia setelah kalah di babak final
jelas merupakan kegagalan paling menyakitkan jika dibandingkan kalah di
babak-babak sebelumnya. Langkah-langkah para pemain Azzuri yang tinggal
berjarak setapak lagi dari trofi harus terhenti.
Baggio masih menunduk dan ia sadar bahwa saat itulah ia
berlumur dosa. Ia yang memastikan kekalahan Italia di babak final. Gol-gol
cemerlangnya di babak-babak sebelumnya seolah tak berarti banyak.
Baggio adalah si pembuat dosa. Mungkin begitu yang dipikir
oleh orang-orang di luar Italia. Baggio melakukan kesalahan yang fatal dan
tidak mungkin termaafkan.
Tak Termaafkan
Seolah mendapatkan hari pembalasan, karier Baggio setelah
Piala Dunia 1994 pun ternyata menurun drastis.
Ia yang sebelumnya selalu jadi pilihan utama Juventus, kini
mulai tersingkir. Kedatangan Marcello Lippi plus cedera yang ia alami seolah
memberikan jalan lapang bagi Alessandro Del Piero untuk menapak karir sebagai
bintang baru Juventus.
Terbuang dari Juventus, Baggio dibeli AC Milan. Namun
ternyata di AC Milan sendiri ia disia-siakan oleh Fabio Capello. Di tim
nasional Italia sendiri, Sacchi pun tak sudi memanggil Baggio untuk Piala Eropa
1996.
"Baggio sedang tidak dalam kondisi terbaik," ucap
Sacchi saat itu mengenai alasan di balik keputusannya.
Tak mendapat tempat utama di AC Milan, Baggio memilih 'turun
derajat' dengan membela Bologna. Di Bologna, Baggio tak butuh waktu lama untuk
membuktikan bahwa karirnya belum habis. 22 gol dicetaknya dalam semusim membuat
pintu tim nasional Italia kembali terbuka.
Tetapi posisinya di tim nasional Italia tak lagi sama
seperti tahun sebelumnya. Ia hanya berperan sebagai pemain pengganti di bawah
bayang-bayang Del Piero.
Kembali ke Liga Italia, Baggio hijrah ke Inter Milan. Namun
ternyata, di Inter Milan ia kembali bertemu Lippi, sosok yang menyingkirkannya
ke bangku cadangan saat di Juventus.
Lippi kembali membuat Baggio menjadi pilihan kedua dan
bahkan kali ini lebih parah. Baggio menolak untuk menjadi mata-mata Lippi di
ruang ganti pemain dan atas penolakan itu Lippi seolah tak menganggap Baggio
ada di tim Inter saat itu.
Dua musim di Inter, Baggio hijrah ke Brescia. Meski di
Brescia Baggio menemukan kedamaian, namun banyak yang menyebut bahwa pemain
selevel Baggio tidak pantas menjalani tiga musim terakhirnya dengan bermain di
klub medioker.
"Kegagalan penalti di Final Piala Dunia 1994 adalah
momen terburuk saya. Jika saya bisa menghapus momen dalam karir saya, maka itu
mungkin menjadi salah satu bagian yang akan saya hapus," ucap Baggio dalam
buku biografinya mengakui.
Baggio benar-benar menyadari bahwa dirinya berlumur dosa
saat itu dan perjalanan karirnya yang terjal setelah Piala Dunia 1994 ibarat
penebusan dosa.
Roberto Baggio pernah membela Brescia di pengujung
kariernya. (Getty Images/Grazia Neri) Tetap Dicintai Italia
Namun ternyata ada satu hal yang tak berubah dalam momen
hidup Baggio, baik sebelum dirinya berdosa gagal menendang penalti maupun
setelah ia melakukannya.
Itu adalah kecintaan publik Italia terhadapnya. Baggio
mungkin tak lagi banyak mendapat kesempatan sebagai aktor utama pasca Piala
Dunia 1994, namun cinta publik Italia tetaplah abadi.
Cinta besar fans pada Baggio pertama kali bisa dilihat dalam
wujud kemarahan penggemar Fiorentina saat mereka tahu Baggio dijual ke Juventus
pada tahun 1990.
Uang sebesar 25 juta lira yang menjadi rekor transfer dunia
saat itu tak cukup untuk meredakan kemarahan mereka. Fans Fiorentina mengamuk
di Firenze dan menyebabkan kerusuhan. Total 50 orang terluka dalam bentrok dengan
pihak keamanan mengingat saat itu Italia juga tengah bersiap menghadapi Piala
Dunia 1990 sebagai tuan rumah.
"Saya terpaksa menerima transfer ini," ucap Baggio
kepada fans 'La Viola' di hari perpisahan mereka seperti dikutip dari situs
azzuri.com.
Perilaku Baggio juga yang membuat cinta publik Italia makin
bertambah padanya. Ia sempat menolak melakukan tendangan penalti ke gawang
Fiorentina dan mencium syal Fiorentina yang dilemparkan padanya.
Meski fans Juventus kemudian sempat meragukan komitmen Baggio,
namun mereka pun akhirnya terlarut dalam perayaan gol-gol yang lahir dari kaki
Baggio. Bersama Juventus, Baggio pun memenangi Piala UEFA 1993 dan menjadi
Pemain Terbaik Dunia di tahun yang sama.
Memasuki fase kelam pasca dosa besar yang dia lakukan, cinta
publik Italia tetap tak bergeser padanya.
Saat Baggio tak dipanggil ke Piala Eropa 1996, banyak pihak
yang menyayangkannya. Italia sendiri terhenti di babak penyisihan grup saat
itu.
Saat Baggio hanya masuk sebagai pemain pengganti dalam laga
perempat final melawan Prancis yang akhirnya dimenangi oleh Prancis, publik
Italia pun ramai-ramai mengritik Cesare Maldini atas keputusannya lebih memilih
Del Piero sebagai pilihan utama.
Baggio dinilai lebih bagus dari Del Piero saat Piala Dunia
1998 berlangsung dan mereka pun berandai-andai Italia bisa mengalahkan Prancis
jika Baggio diturunkan sejak awal.
Fans AC Milan, Bologna, dan Inter Milan pun mencintai Baggio
meskipun Baggio hanya menghabiskan waktu sebentar di tim-tim tersebut. Baggio
bahkan tak pernah disoraki meskipun menyebrang dari Milan ke Inter.
Di Brescia yang merupakan pelabuhan terakhirnya, Baggio
jelas layaknya dewa. Ia seolah menjadi anugerah bagi klub kecil sekelas
Brescia. Bersama Baggio, Brescia jadi perhatian di Serie A. Nomor 10 yang
dipensiunkan oleh Brescia adalah bukti besarnya cinta mereka pada 'Si Ekor
Kuda.'
Sebuah polling internet pada 2001 menyajikan hasil bahwa
Baggio adalah pemilik status 'Pemain paling dicintai.' Penghargaan 'Most Loved
Player' yang didapat Baggio di Italian Football Oscars pada 2002 juga
menegaskan status Baggio sebagai pemain paling dicintai oleh publik Italia.
Label 'pemain paling dicintai' fans seolah melengkapi
pengakuan dari segi teknik dengan FIFA memilihnya dalam FIFA World Cup Dream
Team alias 11 pemain terbaik yang pernah tampil di Piala Dunia pada tahun 2002.
Kecintaan publik Italia pada Baggio pun kembali
diperlihatkan saat mereka ramai-ramai berharap Baggio bisa turut serta dalam
tim nasional Italia menuju Piala Dunia 2002 yang saat itu diasuh Giovanni
Trapattoni.
Meski dukungan mengalir deras untuk membawa Baggio, namun
akhirnya Baggio tetap ditinggalkan. Permohonan publik Italia pun berubah
menjadi kritikan saat Italia tanpa Baggio ternyata terjembab dan takluk di
tangan Korea Selatan.
Begitulah karir Baggio. Meski tak lagi jadi pilihan utama
pelatih, Baggio tetap nomor satu di hati publik sepak bola Italia.
Hari Terakhir yang
Akan Selalu Dikenang
Baggio menutup kariernya pada 16 Mei 2004, nyaris sepuluh
tahun sejak ia gagal mengeksekusi penalti di Pasadena. Bukan di Stadion Mario
Rigamonti milik Brescia, melainkan di Stadion San Siro markas AC Milan.
Namun ternyata publik Mario Rigamonti dan San Siro tak jauh
berbeda. Setelah mendapat sambutan yang meriah di partai terakhirnya di Mario
Rigamonti, di Milan Baggio juga mendapat perlakuan yang sama.
San Siro hari itu dipadati oleh lebih dari 80 ribu suporter
dan banyak yang membawa poster dan tulisan penghormatan untuk Baggio. Meskipun
Baggio tak lagi mengenakan kostum Merah-Hitam di lapangan, namun mereka seolah
tak peduli. Yang mereka tahu, seorang pemain terbaik Italia akan segera pergi.
Saat Baggio akhirnya ditarik keluar lapangan pada menit
ke-88, publik San Siro memberikan standing ovation. Tepuk tangan meriah itu
diikuti oleh seruan-seruan dukungan pada Baggio.
Pertandingan sempat terhenti sesaat untuk memberikan waktu
bagi Baggio berpamitan pada publik sepak bola Italia. Meski tersenyum, ada air
mata yang menggenang yang ikut mengiringi.
Bagi Baggio, perjalanan kariernya selesai hari itu. Ia sadar
betapapun ia pernah melakukan dosa besar, publik Italia tetap mencintainya.
Dan bagi publik Italia, hari itu, seorang pemain terbaik
Italia berubah status menjadi legenda.
Sepuluh Hal Menarik
Dari Roberto Baggio
Roberto Baggio seolah menarik diri dari dunia sepakbola yang
membesarkannya. Meski demikian fans-nya, dan publik sepakbola dunia, akan
selalu mengenangnya. Ia adalah salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki
Itali, tapi tiga kali gagal memenangkan Piala Dunia akibat adu penalti.
Sejak 16 Mei 2004, atau ketika kali terakhir bermain,
Roberto Baggio seperti lenyap dari dunia sepakbola. Fans sepakbola Italia hanya
bisa mengingat saat-saat terakhir ketika dia meninggalkan lapangan Stadion San
Siro, dan 80 ribu penonton memberikan standing ovation. Usai pertandingan,
pemain AC Milan dan Brescia -- klub terakhir yang dibela Baggio -- memberikan
salam perpisahan.
Baggio muncul lagi di depan publik, bukan untuk bermain,
ketika menemani Stefano Borgonovo -- rekannya di Fiorentina yang menderita
penyakit amyotrophic lateral sclerosi --
menyaksikan pertandingan amal. Laga amal itu digelar untuk mengumpulkan dana
bagi penelitian penyakit yang diderita Borgonovo.
Kesibukan sehari-hari pemain berjuluk Il Divin Codino ini
adalah bertukar kata dengan fansnya lewat situs pribadi dan blog yang
diluncurkan pada 18 Februari 2007, saat dia berulang tahun ke-40. Baggio tidak
pernah memperlihatkan keinginan kembali menekuni sepakbola; menjadi pelatih,
sibuk di manajemen salah satu klub, atau sekadar menjadi komentator televisi.
Ia masuk dalam European XI untuk laga amal Hope Indian Ocean
Tsunami pada 15 Februari 2005 di Nou Camp, Barcelona, tapi menolak hadir.
Terdapat kesan ia menjauh dari lapangan sepakbola, kecuali untuk hal-hal yang
dianggapnya khusus dan penting.
Meski terkesan bersembunyi dari keriuhan stadion dan media
massa, Baggio adalah sosok bersejarah dalam sepakbola Italia dan dunia. Berikut
sepuluh hal menarik yang dikenang penggemarnya di seluruh dunia.
10. Lahir di Caldogno, Venete, 18 Februari 1967. Bergabung
di klub lokal pada usia sembilan tahun. Mencetak enam gol dalam satu
pertandingan, yang membuat scout Antonio Mora membujuknya untuk bermain bersama
Vicenza. Tahun 1982 ia memulai kariernya di Vicenza, klub yang berlaga di Serie
C1 Italia.
9. Pindah ke Fiorentina tahun 1985, dan memulai debutnya di
Serie A Italia pada 21 September 1986 dalam laga melawan Sampdoria. Ia mencetak
gol pertamnya di untuk La Viola pada 10 Mei 1987 ke gawang Napoli. Ia dengan
cepat menjadi pemain paling dikultuskan, dan dianggap salah satu pemain terbaik
di dunia.
8. Dijual ke Juventus tahun 1990 dengan harga €12 juta,
termahal saat itu. Fans Fiorentina mengamuk di jalan-jalan Florence, 50 orang
terluka. Baggio memanaskan situasi dengan mengatakan; "Saya dipaksa
menerima transfer ini."
7. Memenangkan trofi Piala UEFA untuk Juventus, dan meraih
penghargaan Pemain Terbaik Eropa dan Dunia untuk dirinya. Dua tahun kemudian
memenangkan Scudetto pertamanya.
6. Silvio Berlusconi, chairman AC Milan, menekan Juventus
untuk menjual Baggio. Juve melepasnya, meski saat itu Blackburn Rovers dan
Manchester United tertarik memboyongnya.
5. Menjadi pemain pertama yang memenangkan dua Scudetto
berturutan dengan klub berbeda. Belakangan diketahui agennya membuat perjanjian
dengan Milan, sebelum Baggio diboyong Juventus.
4. Baggio tampil di tiga Piala Dunia; 1990, 1994 dan 1998,
tapi tak pernah menjuarainya. Di tiga Piala Dunia itu, Italia tersingkir lewat
adu penalti. Padahal, 86 persen tembakan penalti Baggio masuk Ia telah 122 kali
menembak penalti, 106 kali berhasi. Ia tercatat sebagai pemain yang mencetak
gol di tiga Piala Dunia,
3. Ia mengakhiri karier sebagai pemain yang mencetak 205 gol
di Serie A Italia, membuatnya berada di tempat kelima di belakang Silvio Piola,
Gunnar Nordahl, Giuseppe Meazza dan José Altafini. Jika ditambah gol-gol di
Serie C1, Baggio total mengoleksi 300 gol, dan menjadi pemain yang mencetak gol
terbanyak dalam setengah abad terakhir. Namun ia masih di belakang Piola (364) dan
Meazza (338).
2. Bertengkar dengan banyak manajer klub, dan timnas, yang
diungkapkan dalam otobiografi bertajuk Una porta nel cielo. Kebiasannya
mengkritik manajer menyebabkan dia tidak diberangkatkan ke Piala Dunia 2002
oleh pelatih Giovanni Trapattoni.
1. Lahir dari keluarga Roma Katolik, Baggio memilih menjadi
pengikut Budha Nichiren dan kini anggota organisasi Soka Gakkai International
Buddhist.
Sumber
Butuh Hiburan? Butuh Refreshing??
ReplyDeleteYuk Mainkan Live Casino bersama Winning303..
Hadirkan Dealer Profesional dan Cantik Yang Siap Menemani Permainan Anda 24Jam Nonstop!!
Ayo Gabung Dengan Kami...Gratiss!!
Winning303 juga menyediakan permainan lain dengan 1 ID...
1. Sportsbook
2. Poker
3. Slot Online
4. Lottery/Togel
5. Sabung Ayam
Hubungi Kami di :
Customer Service 24 Jam
WA: +6287785425244
Winning303 Arena Sabung Ayam Terpopuler yang menghadirkan Ayam Ras Juara dan Ras-ras Terkuat..Pertarungan yang sangat seru bakal di hadirkan disini...
ReplyDeleteWinning303 juga menyediakan permainan lain
1. Sportbooks
2. Live Casino
3. Slot Online
4. Lottery/Togel
5. Poker Online
6. Tembak Ikan
7. Bingo
Yang pastinya tidak kalah seru dengan permainan lainnya...
cukup 1 User ID untuk semua permainan..Gak Pake Ribet...
Ayo Langsung bergabung dengan kami...
Customer Service 24 Jam
Hubungi Kami di :
WA: +6287785425244
Punya Jenius ( bank BTPN )
ReplyDeleteMari bergabung bersama kami di Donaco Poker
Gratis Regis & banyak bonus untuk bank BTPN anda
Hub kami.
WHATSAPP : +6281333555662
CS 24 JAM