Nama
tokoh satu ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia.
Beliau dikenal dengan nama Douwes Dekker. Berikut profil dan biografi dari
Douwes Dekker. Beliau mempunyai nama lengkap Dr. Ernest François Eugène Douwes
Dekker namun bangsa Indonesia lebih mengenalnya sebagai Douwes Dekker atau
dengan nama Danudirja Setiabudi. Beliau merupakan orang keturunan Belanda yang
memihak pribumi. Beliau dilahirkan pada tanggal 18 oktober 1879 di Kota
Pasuruan yang kala itu masih dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda.
Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya
bernama Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yang bekerja sebagai agen di sebuah
bank ternama yang bernama Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya
bernama Louisa Neumann, orang Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia.
Douwes Dekker diketahui memiliki saudara berjumlah tiga
orang. Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dari
sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya, namun tidak lama disana, orang
tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang bernama
Gymnasium Koning Willem III School. Selepas lulus dari sana, ia kemudian
diterima bekerja di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur. Disini, beliau
kemudian melihat bagaimana perlakuan semena-mena yang dialami oleh para pekerja
pribumi di kebun kopi tersebut.
Tindakan semena-mena tersebut membuat Douwes Dekker kemudian
biasa membela para pekerja kebun tersebut yang membuat ia cenderung dimusuhi
oleh para pengawas kebun yang lain. Hingga membuat ia kemudian berkonflik
dengan managernya yang pada akhirnya Douwes Dekker kemudian dipindahkan ke
perkebunan Tebu namun ia kemudian tidak lama bekerja disana sebab ia kembali
berkonflik perusahaannya karena masalah pembagian irigasi antara perkebunan
tebu dan para petani padi diwilayah tersebut yang pada akhirnya membuat ia
dipecat dari pekerjaannya.
Setelah dipecat dan menjadi seorang pengangguran, ibunya
Louisa Neumann kemudian meninggal dan menyebabkan Douwes Dekker kemudian
depresi. Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan kemudian ke Afrika Selatan
menerima tawaran pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dalam perang
Boer melawan Inggris pada tahun 1899 dan Di Afrika Selatan, ia bahkan sempat
menjadi warga negara disana dan membuat saudaranya yang lain menyusulnya
kesana.
Namun Douwes Dekker kemudian ditangkap dan sempat dipenjara
disana. Ia kemudian berkenalan dengan sastrawan India yang kemudian membuka
pendangan Douwes Dekker mengenai perlakuan semena-mena pemerintahan kolonial
Belanda pada masyarakat pribumi. Douwes Dekker kemudian kembali ke Hindia
Belanda (Indonesia) tahun 1902. Ia kemudian bekerja sebagai seorang wartawan di
koran bernama De Locomotief, karena keahliannya dalam membuat laporan mengenai
peperangan.
Tahun 1903, ia kemudian mempersunting seorang wanita
keturunan Jerman-Belanda bernama Clara Charlotte Deije yang memberinya lima
orang anak. Selama menjadi wartawan di koran De Locomotief, ia banyak
mengangkat mengenai kasus kelaparan di wilayah Indramayu. Tulisan-tulisannya
sebagai jurnalis banyak mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Saat Douwes Dekker menjadi staf di sebuah majalah bernama
Bataviaasch Nieuwsblad di tahun 1907, tulisan-tulisannya condong membela bangsa
pribumi dan semakin banyak menkritik pemerintah kolonial Belanda. Salah satu
tulisannya yang terkenal yaitu "Hoe kan Holland het spoedigst zijn
koloniën verliezen?" yang berarti "Bagaimana caranya Belanda dapat
kehilangan koloni-koloninya".
Tindakannya tersebut membuat Douwes Dekker menjadi target
dari inteljen pemerintah kolonial Belanda. Douwes Dekker juga memberikan tempat
tinggalnya saat itu sebagai tempat untuk berkumpulnya para kaum pergerakan
ketika itu seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo. Banyak yang menganggap bahwa
berkat bantuan Douwes Dekker, organisasi Budi Utomo sebagai organisasi nasional
pertama ketika itu dapat berdiri.
Melihat adanya diskriminasi oleh pemerintahan kolonial
Belanda ketika itu terhadap kaum pribumi terutama di bidang pemerintahan dimana
banyak posisi-posisi penting di pemerintahan di jabat oleh orang Belanda dan
untuk kaum pribumi sendiri hanya dijadikan sebagai pegawai rendahan karena
faktor pendidikan. Melihat hal tersebut, Douwes Dekker kemudian memberikan
sebuah ide mengenai sebuah pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan oleh
para penduduk pribumi asli.
Idenya tersebut ia sampaikan kepada partai Indische Bond dan
Insulinde yang ketika itu anggota berasal dari kaum pribumi disamping itu ia
juga berharap dari idenya tersebut kedua partai tersebut dapat bergabung. Ide
Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat namun hanya segelintir orang
saja yang menyambut idenya tersebut.
Pada tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker bersama Suwardi
Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo kemudian mendirikan sebuah partai
politik yang berhaluan nasionalis pertama yang bernama Indische Partij dan
dalam waktu yang tidak terlalu lama, partai ini dapat menghimpun anggota hingga
mencapai 5000 orang dan sangat populer dikalangan pribumi Indonesia.
Berkembang pesatnya Indische Partij sebagai partai politik
nasional pertama membuat pemerintah Belanda kemudian mencurigai gerak-gerik
dari partai ini, ada yang menuduh partai ini anti-kolonial dan bertujuan agar
Indonesia dapat merdeka dari tangan Belanda sehingga di tahun 1913, Partai
Indische Partij akhirnya dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan para
pendirinya yaitu Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo
yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai akhirnya diasingkan.
Douwes Dekker kemudian diasingkan ke Eropa. Selama di Eropa,
ia tinggal bersama keluarganya dan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil
program doktor di Universitas Zurich, Swiss dalam bidang ekonomi. Di Swiss, ia
sempat terlibat konspirasi dengan kaum revolusi India dan hingga kemudian ia
ditangkat di Hongkong dan kemudian diadili disana. Di Singapura, pada tahun
1918, ia juga sempat di tahan dan kemudian dipenjara selama dua tahun. Setelah
bebas, ia kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia).
Di Indonesia, Douwes Dekker kemudian kembali aktif di dunia
jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian banyak menyindir kaum kolonial. Di
saat itu juga, Douwes Dekker kemudian mendirikan partai baru penerus Indische
Partij yang bernama Nationaal Indische Partij namun partai tersebut tidak
mendapat izin dari pemerintahan kolonial Belanda.
Di tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat dalam
peristiwa kerusuhan petani perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Namun di
pengadilan, ia kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia dituduh menulis
hasutan dan melindungi seorang redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam
terhadap pemerintah kolonial Belanda namun setelah di pengadilan kemudian
dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan. Di tahun yang
sama juga, ia memilih bercerai dengan istrinya yaitu Clara Charlotte Deije.
Banyaknya tuduhan-tuduhan tentang tulisan dan aktifitasnya
dibidang jurnalistik membuat Douwes Dekker kemudian meninggalkan dunianya
tersebut dan kemudian aktif dalam melakukan penulisan buku-bumi semi ilmiah.
Dan atas masukan dari sahabatnya yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar
Dewantara), Douwes Dekker kemudian terjun di dunia pendidikan dan mendirikan
Ksatrian Instituut di Bandung.
Sekolah yang didirikan oleh Douwes Dekker ini lebih banyak
mengajarkan tentang sejarah dari Indonesia dan juga sejarah dunia yang ditulis
oleh Douwes Dekker sendiri. Dalam mengelola Ksatrian Instituut, ia banyak
dibantu oleh Johanna Petronella Mossel yang bekerja sebagai seorang guru, dan
pada akhirnya Douwes Dekker kemudian menikah lagi dengan Johanna Petronella
Mossel namun dari pernikahannya, mereka tidak dkarunia anak.
Pelajaran yang ada di Ksatrian Instituut ini dituduh sebagai
anti kolonial dan pro terhadap Jepang. Akhirnya tahun 1933, buku-buku karangan
Douwes Dekker banyak disita dan kemudian dibakar oleh pemerintahan kolonial
Belanda, ia juga dilarang mengajar dan memasuki masa penjajahan Jepang, ia
tetap dilarang mengajar.
Larangan mengajar membuat Douwes Dekker kemudian bekerja di
kantor Kamar Dagang Jepang di Batavia (Jakarta). Disini, ia kemudian akrab
dengan Mohammad Husni Thamrin. Serangan Jerman ke Eropa membuat banyak
orang-orang Eropa yang ditangkap termasuk Douwes Dekker yang dituduh sebagai
Komunis.
Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di tahun 1941
yang juga menyebabkan ia kemudian berpisah dengan istrinya Johanna Petronella
Mossel yang memilih untuk menikah lagi dengan seorang pribumi bernama Djafar
Kartodiredjo. Di Suriname, Douwes Dekker tinggal di kamp 'Jodensavanne' yang
sempat menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut, kehidupan Douwes Dekker
sangat memprihatikan bahkan ketika ia berumur 60 tahun, ia sempat kehilangan
penglihatan dan hidupnya sangat tertekan.
Usainya perang dunia II, membuat Douwes Dekker kemudian
dikirim ke Belanda tahun 1946. Disana ia bertemu dengan seorang perawat bernama
Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian menemaninya ke Indonesia dan
tiba pada tanggal 2 januari 1947 di Yogyakarta dan sempat mengganti namanya
untuk menghindari intelijen. Di tahun ittu juga ia menikah dengan Nelly
Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian dikenal dengan nama Haroemi Wanasita
setelah mengetahui bahwa istrinya sebelumnya telah menikah lagi.
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Douwes Dekker
kemudian mengisi posisi penting sebagai menteri negara di kabinet Sjahrir III
meskipun hanya 9 bulan saja. Douwes Dekker juga sempat menjadi delegasi
negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik dan kepala seksi penulisan sejarah yang
berada dibawah Kementrian Penerangan ketika itu.
Tanggal 21 Desember 1948 ketika agresi militer Belanda
terhadap Indonesia, Douwes Dekker ditangkap oleh Belanda dan kemudian di
interogasi dan dikirim ke Jakarta. Namun karena kondisi fisiknya yang sudah
renta dan berjanji tidak akan terjun lagi ke dunia politik, Douwes Dekker
kemudian dibebaskan dan ia kemudian tinggal di Bandung di wilayah bernama
Lembangweg.
Ia kemudian aktif kembali di dunia pendidikan di Ksatriaan
Instituut yang pernah ia dirikan dan kegiatannya adalah menyusun autobiografi
dirinya dan juga ia banyak merevisi buku-buku sejarah yang pernah ia tulis.
Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya
menghembuskan nafas terakhirnya, namun di batu nisan makamnya tertulis ia wafat
pada tanggal 29 agustus 1950. Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Cikutra, Bandung.
Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya yag lebih dikenal
sebagai 'Setiabudi' diabadikan sebagai nama jalan di Bandung dan kemudian nama
tempat di wilayah Jakarta. Dan pemerintah Indonesia melalui presiden Soekarno
pada tanggal 9 november 1961 mengeluarkan Kepres No. 590 tahun 1961 mengenai penetapan
Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi sebagai Pahlawan Nasional.
Biodata Douwes Dekker - Pahlawan Indonesia.
Nama Lengkap : Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker
(Danudirja Setiabudi)
Tanggal lahir : 8 Oktober 1879, di Pasuruan.
Wafat : 28 Agustus 1950 di Bandung, Jawa Barat.
Nama Orang Tua : Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker (ayah),
Louisa Neumann (ibu)
Saudara : Adeline (1876) dan Julius (1878)
Pekerjaan :
Politikus,
Wartawan,
Aktivis,
Penulis
Istri :
Clara Charlotte Deije
Johanna P. Mossel
Haroemi Wanasita (Nelly Kruymel)
0 comments:
Post a Comment